Jumat, 08 Juli 2011

bahtsul masail NU

PENDAHULUAN
1.        Latar belakang.
Perkembangan islam di Indonesia merupakan proses yang berkaitan dengan berbagai sector kehidupan lainya yang sangat kompleks. Pergumulan islam dengan nilai budaya setempat menuntut adanya penyesuaian terus menerus tanpa harus kehilangan ide aslinya sendiri. Penghadapan islam dengan realitas sejarah, akan munculkan realitas baru, bukan saja diakibatkan pergumulan internalnya menghadapi tantangan yang harus dijawab tetapi juga keterlibatan dalam proses sejarah sebagai pelaku yang ikut menentukan keadaan zaman.[1]
Nahdatul ulama (NU) adalah sebuah sebuah gejala yang unik, bukan hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia muslim. Ia adalah sebuah organisasi ulama tradisional yang memiliki pengikut yang besar jumlahnya, organisasi non-pemerintahan paling besar yang masih bertahan dan mengakar dikalangan bawah.[2]
Sebagai organisasi islam yang besar, NU berusaha memberikan yang terbaik dalam menyelesaikan masalah masalah yang terjadi di kalangan umat islam.

2.                  Rumusan masalah

a.    Bagaimana sejarah berdiri nya NU ?
b.    Bagaimana bahsul masail NU menyelesaikan masail yang terjadi pada masyarakat.


PEMBAHASAN
1.                  Sejarah berdirinya NU
Nahdatul Ulama (NU) yang didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 di Jawa Timur merupakan organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Nusantara. Sebagian besar warga jam’iyyah, berada di daerah pedesaan Jawa dan Madura. Basis massa yang demikian ini sering memposisikan NU menjadi kelompok marginal yang kurang diperhitungkan dalam wacana pemikiran Islam di Indonesia. Namun sebagai organisasi keagamaan yang berada di bawah kepemimpinan kyai-ulama, NU berusaha mempertahankan tradisi keagamaan yang berkembang di tengah masyarakat dengan mengakomodir seluruh tradisi masyarakat tanpa mengurangi akselerasi nilai-nilai universal Islam.
Di awal berdirinya NU hanya memperjuangkan kepentingan keagamaan tradisionalis yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Dalam Anggaran Dasar-nya yang pertama, tujuan NU didirikan adalah untuk memegang teguh salah satu mazhab empat dan mengerjakan apa saja yang menjadi kemaslahatan bangsa. Namun sejalan dengan dinamika warganya, di tahun lima puluhan, NU terlihat dalam kegiatan politik praktis.
Fajrul Falaah, salah seorang tokoh muda NU, merangkum tiga alasan pokok berdirinya NU: (1) Aksi kultural untuk bangsa, yakni menggunakan strategi akulturasi dengan budaya setempat, dalam memperkenalkan Islam pada masyarakat. (2) Aktivitas yang mencerminkan dinamika berpikir kaum muda, dan (3) usaha membela keprihatinan keagamaan internasional, yakni munculnya gerakan Wahabiyah yang berusaha menghilangkan segala khurafat yang ada di kota suci.
Berbeda dengan Falaah, Deliar Noer, salah seorang peneliti senior Indonesia menyatakan bahwa berdirinya NU merupakan respon atas faham reformisme pada aawl abad ke-20 yang dikembangkan oleh Faqih Hasyim, salah seorang murid H. Rasul, pembaharu terkemuka di tanah Minangkabau. Di Sumatra, respon atas kaum pembaharu berupa “Kaum Tua” yang mempertahankan tradisi-tradisi lama, sedangkan di Jawa dan sekitarnya muncul kelompok ulama Nahdatul Ulama. Namun alasan ini oleh Martin van Bruinessen dibantah, karena menurutnya, Noer kurang memberikan alasan yang representatif. Silang pendapat antar sejarawan yang demikian ini merupakan suatu kewajaran. Mereka mengemukakan preferensi sesuai dengan data yang ditemukan. Deliar Noer misalnya, yang oleh beberapa kalangan dianggap sangat mendiskriditkan NU, merujuk pada data sejarah yang cukup kuat. Sebuah catatan di negeri Belanda, menyebutkan bahwa organisasi NU (ulama tradisionalis) yang merupakan respon atas gerakan reformis, diprakarsai oleh Van Der Plas. Terlepas dari benar atau tidaknya data sejarah Noer, bagi Martin di samping bukti-bukti sejarah yang kuat, aspek reasonable juga penting diperhatikan. Dalam kasus berdirinya NU misalnya, apabila NU merupakan gerakan responsif atas kaum pembaharu yang dikembangkan oleh Faqih Hasyim di Jawa Timur, kenapa NU tidak berdiri pada tahun belasan, di mana usaha kelompok pembaharu sangat gencar.
Begitu juga Falaah, sebagai penelitian dari kalangan NU (insider) tak lepas dari kajian teks dan juga kajian sejarah sosial. Munculnya kelompok studi “tashwrul afkar” di awal abad XX yang dipelopori oleh Abdul Wahab Hasbullah dan rekannya Ahmad Dahlan (kemudian menjadi pimpinan Muhammadiyah), mendorong munculnya jamiyyah NU.

2.                   Bahtsul masail NU

Masyarakat umum yang beranggapan  bahwa pondok pesantren cenderung melestarikan tradisi feodal kepemimpinan yang sentralistik dan otoriter tentu saja merupakan persepsi yang keliru dan tidak berdasarkan kenyataan. Di lingkungan podok pesantren ada tradisi unik dalam menyelesaikan problem-problem yang berkembang di masyarakat baik masalah agama maupun problematika kebangsaan dengan cara bertukar pikiran sesama santri maupun sesam kyai. Tradisi itu namanya Bahtsul Masail (Forum Pembahasan Masalah).
            Bahtsul Masail merupakan forum pembahasan masalah-masalah yang muncul dikalangan masyarakat yang belum ada hukum dan dalilnya dalam agama. Peserta Bahtsu Masa’il terdiri dari para kyai pakar ahli fiqih dan kalangan professional yang bersangkutan dengan masalah yang dibahasnya. Uniknya, masalah-masalah yang dibahas tidak hanya masalah agama tetapi juga masalah perkembangan politik yang actual.
Ini terlihat pada munculnya gagasan-gagasan segar dalam pembaruan hukum Islam di kalangan NU, bukan hanya karena munculnya tokoh-tokoh muda NU semata, tetapi perkembangan progresif ini dialamatkan pada counter atas faham modernis. Pembaruan fiqih di kalangan nahdiyyin, sebagai konsekuensi perkembangan aspek kehidupan masyarakat, merupakan proses pemaknaan yang terus menerus menurut Clifford Geertz yang anarkis. Fiqih bukanlah lembaga permanen yang bersifat sakral, tetapi fiqih merupakan suatu produk peradaban (civilization product).
Fenomena ini sangat menarik dalam wacana pemikiran hukum di NU. Karena selama ini NU dianggap sangat hati-hati dalam merespon perkembangan hukum yang terjadi dalam masyarakat, bahkan sebagian pengamat menganggap wacana pemikiran hukum NU mengarah pada proses penutupan ijtihad. Ide-ide baru yang dikembangkan dalam pemikiran hukum NU sekarang ini menjadi lebih progresif dan transformatif dengan tawaran pemikiran-pemikiran para Kyai NU khususnya kalangan muda yang sangat terbuka dan kritis dengan wacana-wacana baru yang berkembang sekarang ini. Mereka mengembangkan pemikiran kritis yang interpretatif, metodologis, dan filosofis.
Asy-Syafi’i (150-204 H/767-812 M) sebagai madzhab yang dipegangi oleh NU –meskipun secara teoritis NU mengakui madzhab empat tidak banyak memperkenalkan wacana filsafat dalam ushul fikih. Al risalah sebagai magnum opus-Imam syafi’i menempatkan kemutlakan wahyu (Al-Qur'an) sebagai sumber syari’ah, sehingga realitas sosial harus tunduk pada nash secara menyeluruh. As-Sunnah berposisi sebagai aplikasi dari nilai-nilai Al-Qur'an yang telah dilaksanakan oleh Rasulullah. Sedangkan ijma’ ditempatkan sebagai sumber ketiga dalam ushul fiqih Syafi’i. Dan yang terakhir adalah qiyas (analogi) yakni dengan cara memberi padanan dengan “yurisprudensi” yang telah ada.
Dalam kajian ushul fikih, wacana filsafat banyak dikembangkan dalam kitab Al Muwafqat karangan Imam As-Syatibi (w.790 H), seorang ulama madzhab Maliki, meskipun secara parsial telah dikenalkan oleh Imam Juwaini (w.378 H) dalam Al-Burhn maupun Al Mustashf karangan Imam Ghazali (w.505 H). Syatibi merumuskan teori maqashid syari’ah dengan membagi ke dalam tiga varian, dhoruriyah, hajjiyah dan tahsinyah. Dengan pendekatan maqshid syar’ah, maka akan mudah ditemukan anatomi furu’ dan ashl sebagaimana yang diinginkan oleh kyai NU dalam menginterpretasi teks-teks klasik.
Dengan mengkaji ushul fikih Maliki (al Muwfaqat-Syatibi) nampak ada upaya desakralisasi atas madzhab Syafi’i yang selama ini menjadi handbook kyai NU. Hanya saja dalam forum bahtsul masa’il yang dikembangkan oleh NU, para kyai-ulama tidak tegas menyatakan pembaruan manhaji dalam bahtsul mas’il.
  1. Produk Bahtsul Masail
Keputusan bahtsul masa’il di lingkungan NU, dibuat dalam rangka bermadzhab dengan salah satu madzhab empat yang disepakati dan mengutamakan bermadzhab secara qaul. Oleh karena itu dalam memberikan jawaban ittifaq hukum digunakan susunan metodologis sebagai berikut:
1. Dalam kasus yang ditemukan jawabannya dalam ibarat kitab dan hanya satu qaul (pendapat), maka qaul itu yang diambil.
2. Dalam kasus yang hukumnya terdapat dua pendapat maka dilakukan taqrir jama’i dalam memilih salah satunya.
3. Bila jawaban tidak diketemukan dalam ibarat kitab sama sekali, dipakai ilhaq al masail bin nadhariha secara jamai oleh para ahlinya.
4. Masalah yang dikemukakan jawabannya dalam ibarat kitab dan tidak bisa dilakukan ilhq, maka dilakukan istimbat jama’i dengan prosedur madzhab secara manhaji oleh para ahlinya.
Berangkat dari sistem pengambilan keputusan hukum Bahtsul Masail yang dirumuskan pada Munas Bandar Lampung tahun 1992 ini, sebenarnya telah terjadi dinamika pemikiran hukum di lingkungan NU baik dari aspek substansi pembahasan maupun aspek metodologis. Bagi NU perumusan sistem ini sangat berarti bukan saja bagi para kyai yang terlibat langsung dalam arena bahtsul masail, tetapi bagi pengembangan wawasan berpikir masyarakat NU pada umumnya.
2.      Pemikiran
Dalam bahtsul masa’il digunakan pemikiran yang interpretatif atas teks-teks fikih yang ada, para kyai akan mengetahui latar pemikiran khazanah-khazanah klasik yang telah menjadi bahan perbincangan primer kyai. Begitu juga secara metodologis, pemikiran fikih tidak lagi terkungkung dengan rujukan teks (qauli) saja, tetapi harus diimbangi dengan pembongkaran (dekonstruksi) konteks. Atau dengan kata lain berfikih tidak harus secara teks (madzhab qauli) tetapi juga dengan metodologi yang kontekstual (manhaj). Sedangkan wacana filosofis merupakan alternatif baru dalam mengembangkan fikih manhaji yang mulai dipakai oleh para kyai NU.
            Masalah-masalah yang akan dibahas dalam Bahtsul Masa’il merupakan usulan dari berbagai pesantren. Usulan masalah itu dikumpulkan dan disaring oleh panitia untuk mrnjadi tema pembahasan bersama dalam forum tersebut. Bahtsul Masa’il dilakukan dengan dua cara yaitu : Bahtsul Masa’il Waqi’iyah ( actual), dan Bahtsul Masa’il Maudhu’iyah (tematik).
            Dengan demikian pembahasan menjadi lebih luas dan lebih berkembang baik dalam forum mu’tamar NU maupun forum Munas ‘alim ulama NU. Tradisi pengambilan keputusan hukum model Bahtsul Masa’il di lingkungan podok pesantren dan di kalangan NU mempunyai tujuan antara lain :
1.      Supaya NU mempunyai pedoman dalam menetapkan hukum, sehingga semua keputusan di dalam Bahtsul Masa’il harus berpegang pada cara-cara yang  telah ditetapkan di dalam sistem yang sudah disepakati.
2.      Dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya mauquf atau tertundanya suatu masalah karena tidak ada nash atau tidak ada qaul dalam Al-kutubul-Mu’tabarah, atau tidak ada aqwal (pendapat), Af’al (perilaku) dan tasharrufat dari assabiqunal awwalun (para perintis) NU. Bahtsul Masa’il juga dimaksudkan untuk menghindarkan munculnya jawaban terhadap berbagai persoalan tanpa pedoman yang benar.
3.      Sistem ini sekaligus memberikan penjelasan bahwa bermazdhab di lingkungan NU menggunakan pendekatan Qauni (produk pemikiran) dan Manhaji sehingga tidak mungkin terjadi kesulitan dalam merespon setiap persoalan yang terjadi, baik yang menyangkut aspek qouliyah maupun ijtimaiyah, aspek ekoomi, sosial politik atupun aspek-aspek lainnya.
Dengan demikian pesantren yang selama ini dianggap melestarikan tradisi feodalistik dan otoriter justru merupakan perintis dalam berkembangnya tradisi dialog yang setara dan demokratis melalui Bahtsul Masa’il.
4.   Aktivitas
Selain tujuannya sebagai forum pembahasan masalah yang berkembang di masyarakat, Bahtsul Masa’il juga sebagai forum untuk membangun ukhuwah dan interaksi antar pesantren dan kegiatan ini biasanya dilaksanakan rutin baik setiap bulan ataupun tahun dan tempatnya bergilir di beberapa pesantren. Aktivitas lainnya adalah dengan adanya Mu’tamar NU dan Munas ‘alim ulama NU serta dialog antara para santri maupun para kyai NU, misalnya Bahtsul Mas’il yang baru-baru ini dilaksanakan di pondok pesanten Sidogiri, kabupaten Pasuruan. Bahtsul Masa’il yang diikuti 180 utusan pondok pesantren dan pengurus cabang NU se-Jawa Timur tersebut membahas tentang pemilihan kepala daerah. Dalam forum tersebut, para peserta membahas pemilihan kepala daerah menurut dalil-dalil agama (Fiqih), selain hukum Negara yang ada. Sebab dalam praktiknya pemilihan kepala daerah banyak ditemukan praktik-praktik politik uang (Money Politic).

KESIMPULAN
Bahstul masail adalah sebuah pembahasan masalah masalah yang muncul dikalangan masyarakat. Pemikiran yang digunakan adalah interpetratif atas text-text fiqh yang ada. Metedologis yang digunakan tidak hanya secara text, tapi di imbangi dengan pembongkaran context. Bahtsul masail ini dilakukan dengan 2 cara  yaitu actual dan tematik.




DAFTAR PUSTAKA
Haidar M. Ali, nahdatul ulama dan islam Indonesia, Jakarta : PT Gramedia pustaka Utama, 1998.
Martin van bruinessan, NU tradisi relasi-relasi kuasa pencari wacana baru, Yoyakarta : LKIS, 1998


Sumber : http//www.gusmus.net/page.php?mod=dinamis&su=7&id=67
             : http//www.google.com//bahtsulmasail




[1] W. montgimery watt, pergolakan pemikiran politik islam, (Jakarta : beunebi cipta, 1987 ), hal. 37
[2] Martin van bruinessan, NU tradisi relasi-relasi kuasa pencari wacana baru, Yoyakarta : LKIS, 1998, hal. 3

2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. .contoh masalah yang dibahas dalam bahtsul masail seperti apa.??

    BalasHapus

Pengikut