Rabu, 27 Juni 2012

Belajar Dalam Al-Qur'an


A.  Pengertian Belajar
Di kalangan psikolog terdapat keberagaman cara dalam menjelaskan dan mendefinisikan tentang makna belajar (learning). Namun, baik secara eksplisit maupun implisit pada akhirnya memiliki kesamaan makna. Salah satu definisi yang nyaris disepakati bersama adalah bahwa belajar merupakan sebuah proses erubahan perilaku atau pribadi berdasarkan praktik atau pengalaman tertentu.[1]
Adapun beberapa ciri perubahan yang merubah yang merubah perilaku belajar antara lain :
1.    Perubahan intensional dalam arti perubahan yang terjadi karena intensitas pengalaman, praktik atau latihan yang dilakukan secara sengaja.
2.    Perubahan menuju ke arah positif, dalam arti sesuai dengan yang diharapkan atau kriteria keberhasilan baik diandang dari segi siswa, guru maupun lingkungan sosial.
3.    Perubahan yang efektif dalam arti membawa pengaruh dan makna tertentu bagi siswa.[2]
Arthur J. Gates et al mengatakan bahwa “learninng is a modification of behavior through experience and training” (Gates et al, 1954, hal 288). Jadi dengan belajar harus ada atau terjadi perubahan tingkah laku melalui pengalaman dan latihan.
Belajar juga perlu distimulasi ke arah hasil-hasil yang diinginkan. Dan seterusnya bahwa belajar adalah usaha untuk menguasai dan memperoleh kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan dan sikap-sikap.  Belajar juga merupakan kegiatan untuk mendapatkan hal-hal baru disaming memperkuat hal-hal yang telah dikuasai (dimiliki) dan yang baru sekalipun. Terkandung di dalam hal-hal yang baru adalah usaha untuk memecahkan masalah (problem solving), sedangkan yang terdapat di dalam memerkuat hal-hal yang telah dikuasai adalah mengulang atau menghafalkannya.[3]
Selain itu ada beberapa prinsip belajar. Prinsip-prinsip tersebut antara lain sebagai berikut :
1.      Belajar sebagai usaha memperoleh perubahan tingkah laku
2.      Hasil belajar ditandai dengan perubahan seluruh aspek tingkah laku.
3.      Belajar merupakan suatu proses
4.      Proses belajar terjadi karena ada dorongan dan tujuan yang akan dicapai
5.      Belajar merupakan bentuk pengalaman

B.  Teori Belajar
Belajar adalah aktivitas yang disadari dan dengan kemauan yang cukup kuat serta mengharapkan hasil belajar yang baik (optimum), maka memerlukan situasi dan kondisi yang cukup baik juga. Diantara situasi dan kondisi yang baik (kondusif) adalah :
1.      Faktor internal, yakni individu yang mau belajar harus dalam keadaan sehat jasmani dan rohaninya, ada kesadaran, kemauan, perhatian, minat, dan tujuan belajar yang sungguh-sungguh untuk belajar.
2.      Faktor eksternal, yang terdiri dari:
a.       Situasi dan kondisi tempat belajar harus nyaman
b.      Alat-alat belajar tersedia cukup
c.       Jika dierlukan ada orang pendamping yang dapat membantu memecahkan masalah yang dihadapi
d.      Tersedia waktu yang cukup untuk belajar dan dapat diatur dengan jadwal
e.       Jika diperlukan dapat memakai lagu-lagu yang merdu untuk penyegar suasana belajar
f.       Belajar disekolah atau kampus memang sudah didesain baik sesuai dengan aturan sekolah dan kampus.[4]
Pembahasan mengenai teori belajar akan dibagi mejadi dua , yaitu teori belajar berdasarkan sistem dan menurut aliran-aliran besar psikologi.
1.      Teori Belajar berdasarkan Sistem, terdiri dari:
a.       Sistem Classical Conditioning
Teori pembiasaan klasikal atau Classical Conditioning ini dikemukakan oleh Ivan Petrovich Pavlov lewat keberhasilan percobaannya kepada anjing.
Teori ini menganggap bahwa belajar itu hanyalah terjadi secara otomatis (alami). Inilah sumbangan terbesar teori ini yang sekaligus menjadi titik pangkal kelemahannya, sebab pada saat yang bersamaan teori ini tidak menghiraukan peranan keaktifan dan penentuan pribadi dalam menentukan latihan/kebiasaan.[5]
b.      Sistem Instrumental Conditioning
Teori Instrumental Conditioning (Conditioning oerant) ini menyatakan bahwa tingkah laku yang dipelajari berfungsi sebagai instrumen (penolong) untuk mencapai hasil atau ganjaran yang dikehendaki. Pencipta teori ini adalah Burrhus Frederic Skinner (1904) ia adalah seorang penganut behaviorisme.[6]
c.       Sistem Cognitif Learning
Teori ini dikemukakan ertama kali oleh seorang psikolog asal Jerman yang bernama Wolfang Kohler melalui percobaannya ad beberapa ekor simpanse.
Teori ini menyatakan bahwa manusia sebagai pribadi manusia tidak secara langsung bereaksi kepada suatu perangsang dan kalaupun bereaksi sekaligus, reaksinya itu tidak terjadi secara membabi buta.ia selalu ada tahayang sering disebut trial and error.[7]
d.      Sistem Belajar Sosial
Teori ini masyhur dengan sebutan teori Observation learning (belajar observasi dan pengamatan). Tokohnya ialah Albert Bandura, seorang psikolog di Universitas Stanford Amerika Serikat. Bandura memandang tingkah laku manusia bukan semata-mata  refleks atas stimulus, melainkan juga akibat dari interaksi antar lingkungan dengan skema kognitif manusia itu sendiri.[8]

2.      Teori Belajar berdasarkan Aliran
a.       Teori belajar menurut aliran Faculty Theory
Teori ini dipelopori antara lain oleh Salz dan Walff yang menyatakan bahwa manusia itu terdiri dari berbagai daya yang masing-masing mempunyai fungsi tertentu seerti daya ingatan, daya khayal, daya pikir dan sebagainya. Daya-daya itu daat dilatih sehingga bertambah fungsinya.
b.      Teori Belajar menurut Aliran Ilmu Jiwa Asosiasi
Menurut teori ini belajar meruakan ercampuran dari berbagai unsur. Atau dengan kata lain belajar sebagai roses bagaimana menghubungkan dan menggabungkan beragam resons dari sebuah stimulus.[9]

a.       Belajar dalam Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an surat Al-‘Alaq ayat 1-5 yang merupakan wahyu pertama yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW yakni perintah untuk membaca. Sebagai mana yang berbunyi :
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ   t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ   ù&tø%$# y7š/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ   Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ   zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷ètƒ ÇÎÈ  
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam[1589],
5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
[1589] Maksudnya: Allah mengajar manusia dengan perantaraan tulis baca.
            Mengapa iqra’ merupakan perintah pertama yang ditujukan kepada nabi, padahal beliau seorang yang Ummi (yang tidak pandai membaca dan menulis )? Mengapa demikian?
            Iqra’ terambil dari akar kata yang berarti “ menghimpun” sehinga tidak selalu harus diartikan “membaca teks tertulis dengan aksara tertentu”[1]. Dari menghimpun lahir aneka ragam makna, seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca, baik tertulis mapun tidak.
Iqra’ (Bacalah)! Tetapi apa yang harus dibaca ? “Ma Aqra’”? tanya nabi - dalam suatu riwayat- setelah beliau kepayahan dirangkul dan diperintah membaca oleh malaikat Jibril a.s.
Pertanyaan itu tidak dijawab, karena Allah menghendaki agar beliau dan umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut bismi Rabbika,  dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Oleh karena itu belajar dalam hal ini menurut surat Al-Alaq tersebut berarti belajar di artikan tidak hanya dengan membaca atau belajara secar formal di lembaga-lembaga pendidikan, melainkan belajar dari segala sesuatu hal yang kiranya hal tersebut bermanfaat dan mengandung kemaslahatan bersama bagi manusia itu sendiri.

b.      Metode belajar dalam Al-Qur’an
Manusia belajar dengan berbagai metode. Terkadang ia belajar dengan meniru. Anak anak biasanya meniru kedua orang tuanya dan dari keduanya ia banyak belajar entang berbagai kebiasaan dan pola tingkahlaku.
1.      Peniruan
Al-Qur’an sendiri telah mengemukakan contoh bagaimana manusia belajar lewat metode meniru. Ini dikemukakan dalam kisah pembunuhan yang dilakukan Qabil terhadap saudaranya, Habil, dan ia tidak tahu bagaimana memperlakukan mayat saudaranya itu. Maka Allah pun mengutus seekor burung gagak untuk menggali-gali tanah guna menguburkan bangkai seekor gagak lain. Dari gagak itulah Qabil belajar menguburkan mayat saudaranya.[2]
y]yèt7sù ª!$# $\/#{äî ß]ysö7tƒ Îû ÇÚöF{$# ¼çmtƒÎŽãÏ9 y#øx. ͺuqムnouäöqy ÏmÅzr& 4 tA$s% #ÓtLn=÷ƒuq»tƒ ßN÷yftãr& ÷br& tbqä.r& Ÿ@÷WÏB #x»yd É>#{äóø9$# yͺuré'sù nouäöqy ÓŁr& ( yxt7ô¹r'sù z`ÏB tûüÏBÏ»¨Y9$# ÇÌÊÈ  
Artinya :”Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya[410]. berkata Qabil: "Aduhai celaka Aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" karena itu jadilah Dia seorang diantara orang-orang yang menyesal.
2.      Pengalaman Praktis, Trial dan Error
Dalam menghadapi berbagai problem kehidupan dan upayanya untuk mengatasi,manusia juga belajar lewat pengalaman praktis. Dalam kehidupannya, manusia selalu menghadapi situasi-situasi baru yang belum diketetahui begaimana menghadapinya dan bagaimana harus bertindak. Dalam situasi demikian, manusia memberikan rrespon yang beraneka ragam. Terkadang mereka keliru dalam menghadapinya, tetapi terkadang juga tepat. Dengan demikian belajar, lewat apa yang oleh para ahli ilmu jiwa modern disebut”Trial and Error”. Memberikan respon terhadap situasi-situasi baru mencari jalan keluar dari pobrelem-problem yang dihadapinya.
AlQur’an dalam sebagian ayatnya, memberikan dorongan kepada manusia untuk mengadakan perjalanan di muka bumi ini, mengadakan pengamatan  dan memikirkan tanda-tanda kekuasaan Allah dan alam semesta. Karena dengan itu semua, baik melalui pengamatan terhadap hal, pengalaman praktis dalam kehidupan sehari-hari, ataupun lewat interaksi dengan alam semesta dan berbagai mahluk dan peristiwa yang ada dan terjadi di dalamnya akan membawa manusia kepada pemahaman dan pengatahuan tenang sesuatu hal yang baru atau sesuatu yang belum pernah ia alami.
Nabi Muhammad saw sendiri telah mengemukakan tentang pentingnya belajar dari pengalaman praktis dalam kehidupan. Dituturkan dari Talhah ibn Abdullah, bahwa ia berkata pada suatu ketika aku bersama sama Rasulullah saw lewat pada tempat beberpa orang yang sedang memanjat pohon kurma. Rasulullah saw bertanya: “apa yang sedang mereka lakukan”? jawab para sahabat. “mereka sedang mengawinkannya, dengan meletakkan serbuk bunga yang jantan pada bunga betina. Sehingga terjadi perkawinan.” Rasul berkata “ menurut pendapatku tampaknya hal itu tidak ada gunanya.” Kata talhah para sahabat pun memberi tahu orang-orang itu mengenai pendapat Rasulullah mengenai apa yang mereka lakukan. Dan Rasulullah saw pun diberitahu tentang pemberitahuan akan pendapat beliau itu. Rasulullah berkata “bila hal itu berguna bagi mereka biarkanlah mereka melakukannya. Itu hannya dugaan ku saja janganlah kalian ambil. Tetapi apabila engkau memberitahu sesuatu dari Allah maka ambillah. Sesungguhnya aku tidak pernah berbohong sama sekali tenang Allah.” Sabda rasulullah saw “bila hal itu berguna bagi ereka, biarkanlah mereka lakukan” dan “kalian lebih tau urusan duniawi kalian” hal ini menginsyaatkan tenatang belajarnya manusia membuat respon-respons baru lewat pengalaman praktis, dari berbagai situasi baru yang dihadapinya, dan berbagai jalan pemecahan daari problem-problem yang dihadapinya.
3.      Berpikir
Dalam belajar manusia juga memakai metode berpikir. Ketika seseorang sedang berpikir dalam memecahkan suatu problem, dalam kenyataanya ia sedang melakukan “trial dan error” secara intelektual. Sebab dalam pikirannya ia sedang mengusahakan berbagai jalan keluar dari problem tersebut. Jadi, lewat berpikir manusia belajar berbagai jalan keluar dari problem-problemnya, menyingkapkan hubungan antara hal-hal dan peristiwa-peristiwa, menyimpulkannya berbagai prinsip dan teori baru, dan sampai pada berbagai penemuan dan ciptaan baru. Oleh karena itu, peroses balajar disebut oleh para ahli olamu jiwa moderen dengan proses belajar tingkat tinggi.      
Al-Qur’an sendiri menggunakan bentuk diskusi dan polemik dengan orang-orang musyrik dan mengemukakan kepada mereka berbagai bukti logika yang membuktikan kekeliruannya dalam menyembah berhala. Ini dimaksudkan untuk membangkitkan pemikiran mereka tentang tuhan-tuhan mereka dan dengan tujuan untuk meyakini mereka akan kerendahan, kehinaan, dan ketidakmampuan tuhan-tuhan mereka itu. Sehingga akan tampak jelas bagi mereka keridaklayakan berhala-berhala itu sebagai tuhan. Sebagai contoh adalah ayat berikut :
 Artinya: 191. Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhada-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatupun? sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan orang.
192. Dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya dan kepada dirinya sendiripun berhala-berha]a itu tidak dapat memberi pertolongan.
193. Dan jika kamu (hai orang-orang musyrik) menyerunya (berhala) untuk memberi petunjuk kepadamu, tidaklah berhala-berhala itu dapat memperkenankan seruanmu; sama saja (hasilnya) buat kamu menyeru mereka ataupun kamu herdiam diri.
194. Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu seru selain Allah itu adalah makhluk (yang lemah) yang serupa juga dengan kamu. Maka serulah berhala-berhala itu lalu biarkanlah mereka mmperkenankan permintaanmu, jika kamu memang orang-orang yang benar.
195. Apakah berhala-berhala mempunyai kaki yang dengan itu ia dapat berjalan, atau mempunyai tangan yang dengan itu ia dapat memegang dengan keras[589], atau mempunyai mata yang dengan itu ia dapat melihat, atau mempunyai telinga yang dengan itu ia dapat mendengar? Katakanlah: "Panggillah berhala-berhalamu yang kamu jadikan sekutu Allah, kemudian lakukanlah tipu daya (untuk mencelakakan)-ku. tanpa memberi tangguh (kepada-ku)".

[589] Kata yabthisyuun di sini diartikan bertindak dengan keras; Maksudnya: menampar, merusak, memukul, merenggut dengan kasar dan sebagainya.



[1] M. Qurais Shihab, Wawasan Al-Qur’an. (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007), hlm. 5
[2] Ustman Najati, Al-Qur’an dan ilmu jiwa. (Bandung: Pustaka, 2004), hlm. 175





[1] Akyas Azhari, Psikilogi Umum dan Perkembangan, (Bandung: Seri Buku Daras, 2004), hlm.122
[2] Akyas Azhari, Psikilogi Umum dan Perkembangan, (Bandung: Seri Buku Daras, 2004), hlm.122
[3] Ki Fudyartana, Psikologi Umum, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 267-268
[4] Ki Fudyartana, Psikologi Umum, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm.268-267
[5] Akyas Azhari, Psikilogi Umum dan Perkembangan, (Bandung: Seri Buku Daras, 2004), hlm. 127
[6] Akyas Azhari, Psikilogi Umum dan Perkembangan, (Bandung: Seri Buku Daras, 2004), hlm. 127-128
[7] Akyas Azhari, Psikilogi Umum dan Perkembangan, (Bandung: Seri Buku Daras, 2004), hlm. 129
[8] Akyas Azhari, Psikilogi Umum dan Perkembangan, (Bandung: Seri Buku Daras, 2004), hlm. 129-130
[9] Akyas Azhari, Psikilogi Umum dan Perkembangan, (Bandung: Seri Buku Daras, 2004), hlm. 132

Pengikut