IBADAH
Ibadah adalah suatu bentuk
ketundukan dan ketaatan yang mencapai puncaknya sebagai dampak dari rasa
pengagungan yang bersemai dalam lubuk hati seseorang terhadap siapa yang
kepadanya ia tunduk. Rasa itu lahir akibat adanya keyakinan dalam diri yang
beribadah bahwa objek yang kepadanya ditujukan ibadah itu memiliki kekuasaan
yang tidak dapat terjangkau hakikatnya. Maksimal yang dapat diketahui adalah
bahwa yang disembah itu dan yang kepadanya tertuju ibadahnya itu adalah Dia
yang menguasai jiwa raganya, namun Dia berada di luar jangkauannya. “demikian
lebih kurang Muhammad abduh menjelaskan arti ibadah ketika menafsirkan surat
Al-Fatihah.
Syaikh Mahmud Syalthut dalam
tafsirnya mengemukakan formulasi singkat tentang arti ibadah yaitu “ketundukan
yang tidak terbatas bagi pemilik keagungan yang tidak terbatas (pula)”. Hal ini
menurut almarhum mantan pemimpin tertinggi lembaga-lembaga Al_azhar itu,
menunjukan puncak tertinggi dari kerendahan hati, kecintaan batin, serta
peleburan diri kepada keagungan dan keindahan siapa yang kepadanya seseorang
beribadah. Suatu peleburan yang tidak tercapai oleh peleburan apapun.
Syeikh Ja’far Subhani mengemukakan
tiga definisi yang masing-masing dapat menggambarkan arti ibadah. Ketiganya
dapat disimpulkan dengan menyatakan bahwa “ibadah adalah ketundukan dan
ketaatan yang berbentuk lisan dan praktik yang timbul sebagai dampak keyakinan
tentang ketuhanan siapa yang kepadanya seorang tunduk.
Yang dimaksud dengan ketuhanan
dalam uraian diatas adalah kewenangan dan kekuasaan dalam mengatur dan
menetapkan hal-hal tertentu, seperti penciptaan, kehidupan, kematian, hukum,
pngampunan dan sebagainya. Dengan demikian, pemilik sifat ketuhanan itu
menguasai semua aspek kehidupan manusia dan dengan demikianpula setiap manusia
yang beribadah di satu pihak menyadari keterbatasannya serta kemutlakan Dzat
yang kepadanya ibadah itu ditujukan. Dilain pihak dia menyadari pula bahwa dia
berada pada posisi dimiliki, dikuasai, dan diatur oleh-Nya. Setiap sikap,
ucapan, dan perbuatan yang mengejawantahkan rasa tersebut itulah yang dinamai
ibadah.
Hakikat Ibadah
Syaikh muhammad Al-Ghazali dalam
bukunya, Rikaiz al-Iman Baina al-‘Aql wa al-Qalb mengutip pendapat
ja’far ash-shadik tentang hakikat ibadah, yaitu bahwa ibadah yang sesungguhnya
baru dapat mewujud apabila seseorang memenuhi tiga hal: pertama, tidak
menganggap apa yang berada dalam genggaman tangannya (kewenangannya) sebagai
milik pribadinya, karena seorang ‘abd tidak memiliki sesuatupun, apa yang
dimilikinya adalah milik siapa yang kepadanya dia mengabdi. Kedua, menjadikan
segala aktivitasnya berkisar kepada apa yang diperintahkan oleh siapa yang
kepada-Nya dia beribadah atau mengabdi serta menjauhi larangan-Nya. Ketiga,
tidak mendahului-Nya dalam mengambil keputusan, serta mengaitkan segala apa
yang hendak dilakukannya dengan izin serta restu siapa yang kepada-Nya dia
beribadah.
Ketiga unsur yang merupakan hakikat
ibadah seperti dikutip oleh Muhammad Al-Ghazali di atas berbeda dengan pendapat
Mustafa Zed yang mengemukakan dalam bukunya, falsafah al-‘Ibadah fi al- islam,
bahwa ibadah mempunyai dua unsur pokok yang tanpa keduanya ibadah tidak
diterima, yaitu kesempurnaan ketundukan kepada Allah dan kesempurnaan
kecintaan kepada-Nya. Selanjutnya ulama
itu menambahkan urainnya dengan mengutip Ibnu Taimiyah bahwa tingkat pertama
dari cinta adalah hubungan, dalam arti keterpautan hati kepada yang dicintai.
Menjadikan cintai sebagai salah
satu unsur dan syarat diterimanya ibadah merupakan suatu hal yang perlu
diteliti dan dibuktikan dengan argumen-argumen keagamaan; kecuali apabila yang
dimaksud dengan ibadah adalah puncak tinggidari pengalaman ibadah. Ini ti9dak
berarti bahwa ketundukan kepada Allah dan ibadah kepada-Nya tidak sah atau
tidak diterima apabila tidak dibarengi dengan cinta kepada-Nya karena seperti
tulis ibnu sina dalam bukunya al isyarat wa tanbihat beribadah kepada Allah
dapat lahir dari tiga macam motivasi, yaitu karena dorongan takut, dorongan
meraih surga, atau karena dorongan cinta kepada-Nya.
Dari ayat-ayat Al-Qur’an ditemukan
aneka perintah beribadah baik dengan tujuan menghindari dari siksa Nya seperti
firman Nya: “wahai manusia sembahlah tuhanmu yang menciptakan kamu dan
menciptakan orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (terhindar dari
siksa).”(QS. Al-Baqrah: 21).
Mengapa Harus Beribadah?
Manusia,
bahkan seluruh mahluk yang berkehendak dan berperasaan adalah hamba-hamba
Allah. Hamba adal;ah mahluk yang dikuasai, dimiliki. Pemilikan Allah atas
hamba-Nya adalah kepemilikan mutlak dan sempurna. Oleh karena itu mahluk tidak
dapat berdiri sendiri dalam kehidupan dan aktivitasnya, kecuali dalam hal-hal yang
oleh Allah dianugerahkan untuk dimiliki mahluk Nya. Seperti kebebasan memilih
dan lain-lain, walaupun bebas tidak mengurangi kemutlakan kepemilikan Allah.
Atas dasar kepemilikan mutlak Allah
itu, lahir kewajiban menerima semua ketetapan-Nya, serta menaati seluruh
perintah dan larangannya. Atas dasar itu pula manusia tidak dibenarkan
memilih-milih aktivitasnya, sebagian karena Allah dan sebagian untuk yang lain.
Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku adalah demi
Allah pemelihara seluruh alam.” (QS. Al-an’am: 162).
Dari sini dapat dipahami mengapa
perintah beribadah dalam Al-Quran dikaitkan antara lain dengan sifat rububiyah
(pemeliharaan) Allah, misalnya: “wahai seluruh manusia beribadahlah kepada
(tuhanmu) yang memelihara kamu dan menciptakan kamu dan orang-orang sebelum
kamu.” (QS. Al-Baqarah: 21) atau sesungguhnya umat ini adalah umat yang
satu dan Aku adalah Tuhanmu Pemeliharamu maka beribadahlah kepadaku. (QS.
Al-Anbiya’: 92).
Perintah beribadah juga dikaitkan
dengan perintah berserah diri kepada-Nya, setelah upaya yang maksimal
(Tawakal), seperti Firman-Nya: Dan kepunyaan
Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya-lah dikembalikan
urusan-urusan semuanya, Maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya. dan
sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.(QS. Hud : 123).
Di sisi lain
di dalam Al-Qur’an ditemukan banyak ayat yang menegaskan bahwa keagungan dan
kekuatan hanya milik Allah (antara lain QS.Al-Baqarah: 65 ) dan bahwa tuhan-tuhan
yang disembah manusia dan diduga dapat membantu, tidak lain adalah hamba-hamba
Allah swt, juga sebagaimana halnya para penyembah mereka. (QS. Al-A’raf: 194).
Kalau seorang
menyadari betapa mutlaknya kepemilikan Allah dan betapa kuat dan berkuasanya
Sang Pencipta itu, maka pengejawantahan kesadaran itu adalah ketundukan dan
penyerahan diri Kepada-Nya. Ini sejalan dengan hukum yang berlaku di mana-mana
serta diakui, suka atau tidak suka, oleh seluruh mahluk : pengakuan faktual
yang dicerminkan oleh ketundukan yang lemah kepada yang kuat, yang butuh kepada
yang mampu, dan yang hina kepada yang mulia. Demikian seterusnya sebagaimana
tampak jelas dalam kehidupan nyata, karena ia adalah suatu hukum atau ketetapan
fitri yang tidak dapat dielakan oleh siapa pun.
Allah swt
adalah wujud yang Maha Agung, Maha Kuat, dan amat dibutuhkan oleh semua mahluk.
Oleh karena itu, puncak dari ketundukan harus diarahkan hanya kepada-Nya
semata.
Benar bahwa
Allah membenarkan seorang tunduk dan takut kepada manusia, namun ketundukan itu
tidak boleh bertentangan dengan ketetapan-Nya. Atas dasar inilah “ tidak
dibenarkan taat kepada mahluk bila ketaatan itu mengantarkan kepada kedurhakaan
terhadap khlalik”. Disamping itu, ketundukan kepada selain Allah tidak boleh
mencapai puncak ketundukan atau dengan kata lain tidak dibenarkan beribadah
kecuali kepada Allah.
sumber: Quraish Shihab
nice banget info infonya
BalasHapuswebsite djarum