Rabu, 16 Mei 2012

Ibadah


IBADAH
Ibadah adalah suatu bentuk ketundukan dan ketaatan yang mencapai puncaknya sebagai dampak dari rasa pengagungan yang bersemai dalam lubuk hati seseorang terhadap siapa yang kepadanya ia tunduk. Rasa itu lahir akibat adanya keyakinan dalam diri yang beribadah bahwa objek yang kepadanya ditujukan ibadah itu memiliki kekuasaan yang tidak dapat terjangkau hakikatnya. Maksimal yang dapat diketahui adalah bahwa yang disembah itu dan yang kepadanya tertuju ibadahnya itu adalah Dia yang menguasai jiwa raganya, namun Dia berada di luar jangkauannya. “demikian lebih kurang Muhammad abduh menjelaskan arti ibadah ketika menafsirkan surat Al-Fatihah.
Syaikh Mahmud Syalthut dalam tafsirnya mengemukakan formulasi singkat tentang arti ibadah yaitu “ketundukan yang tidak terbatas bagi pemilik keagungan yang tidak terbatas (pula)”. Hal ini menurut almarhum mantan pemimpin tertinggi lembaga-lembaga Al_azhar itu, menunjukan puncak tertinggi dari kerendahan hati, kecintaan batin, serta peleburan diri kepada keagungan dan keindahan siapa yang kepadanya seseorang beribadah. Suatu peleburan yang tidak tercapai oleh peleburan apapun.
Syeikh Ja’far Subhani mengemukakan tiga definisi yang masing-masing dapat menggambarkan arti ibadah. Ketiganya dapat disimpulkan dengan menyatakan bahwa “ibadah adalah ketundukan dan ketaatan yang berbentuk lisan dan praktik yang timbul sebagai dampak keyakinan tentang ketuhanan siapa yang kepadanya seorang tunduk.
Yang dimaksud dengan ketuhanan dalam uraian diatas adalah kewenangan dan kekuasaan dalam mengatur dan menetapkan hal-hal tertentu, seperti penciptaan, kehidupan, kematian, hukum, pngampunan dan sebagainya. Dengan demikian, pemilik sifat ketuhanan itu menguasai semua aspek kehidupan manusia dan dengan demikianpula setiap manusia yang beribadah di satu pihak menyadari keterbatasannya serta kemutlakan Dzat yang kepadanya ibadah itu ditujukan. Dilain pihak dia menyadari pula bahwa dia berada pada posisi dimiliki, dikuasai, dan diatur oleh-Nya. Setiap sikap, ucapan, dan perbuatan yang mengejawantahkan rasa tersebut itulah yang dinamai ibadah.
Hakikat Ibadah
Syaikh muhammad Al-Ghazali dalam bukunya, Rikaiz al-Iman Baina al-‘Aql wa al-Qalb mengutip pendapat ja’far ash-shadik tentang hakikat ibadah, yaitu bahwa ibadah yang sesungguhnya baru dapat mewujud apabila seseorang memenuhi tiga hal: pertama, tidak menganggap apa yang berada dalam genggaman tangannya (kewenangannya) sebagai milik pribadinya, karena seorang ‘abd tidak memiliki sesuatupun, apa yang dimilikinya adalah milik siapa yang kepadanya dia mengabdi. Kedua, menjadikan segala aktivitasnya berkisar kepada apa yang diperintahkan oleh siapa yang kepada-Nya dia beribadah atau mengabdi serta menjauhi larangan-Nya. Ketiga, tidak mendahului-Nya dalam mengambil keputusan, serta mengaitkan segala apa yang hendak dilakukannya dengan izin serta restu siapa yang kepada-Nya dia beribadah.
Ketiga unsur yang merupakan hakikat ibadah seperti dikutip oleh Muhammad Al-Ghazali di atas berbeda dengan pendapat Mustafa Zed yang mengemukakan dalam bukunya, falsafah al-‘Ibadah fi al- islam, bahwa ibadah mempunyai dua unsur pokok yang tanpa keduanya ibadah tidak diterima, yaitu kesempurnaan ketundukan kepada Allah dan kesempurnaan kecintaan  kepada-Nya. Selanjutnya ulama itu menambahkan urainnya dengan mengutip Ibnu Taimiyah bahwa tingkat pertama dari cinta adalah hubungan, dalam arti keterpautan hati kepada yang dicintai.
Menjadikan cintai sebagai salah satu unsur dan syarat diterimanya ibadah merupakan suatu hal yang perlu diteliti dan dibuktikan dengan argumen-argumen keagamaan; kecuali apabila yang dimaksud dengan ibadah adalah puncak tinggidari pengalaman ibadah. Ini ti9dak berarti bahwa ketundukan kepada Allah dan ibadah kepada-Nya tidak sah atau tidak diterima apabila tidak dibarengi dengan cinta kepada-Nya karena seperti tulis ibnu sina dalam bukunya al isyarat wa tanbihat beribadah kepada Allah dapat lahir dari tiga macam motivasi, yaitu karena dorongan takut, dorongan meraih surga, atau karena dorongan cinta kepada-Nya.
Dari ayat-ayat Al-Qur’an ditemukan aneka perintah beribadah baik dengan tujuan menghindari dari siksa Nya seperti firman Nya: “wahai manusia sembahlah tuhanmu yang menciptakan kamu dan menciptakan orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (terhindar dari siksa).”(QS. Al-Baqrah: 21).
Mengapa Harus Beribadah?
            Manusia, bahkan seluruh mahluk yang berkehendak dan berperasaan adalah hamba-hamba Allah. Hamba adal;ah mahluk yang dikuasai, dimiliki. Pemilikan Allah atas hamba-Nya adalah kepemilikan mutlak dan sempurna. Oleh karena itu mahluk tidak dapat berdiri sendiri dalam kehidupan dan aktivitasnya, kecuali dalam hal-hal yang oleh Allah dianugerahkan untuk dimiliki mahluk Nya. Seperti kebebasan memilih dan lain-lain, walaupun bebas tidak mengurangi kemutlakan kepemilikan  Allah.
Atas dasar kepemilikan mutlak Allah itu, lahir kewajiban menerima semua ketetapan-Nya, serta menaati seluruh perintah dan larangannya. Atas dasar itu pula manusia tidak dibenarkan memilih-milih aktivitasnya, sebagian karena Allah dan sebagian untuk yang lain. Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku adalah demi Allah pemelihara seluruh alam.” (QS. Al-an’am: 162).
Dari sini dapat dipahami mengapa perintah beribadah dalam Al-Quran dikaitkan antara lain dengan sifat rububiyah (pemeliharaan) Allah, misalnya: “wahai seluruh manusia beribadahlah kepada (tuhanmu) yang memelihara kamu dan menciptakan kamu dan orang-orang sebelum kamu.” (QS. Al-Baqarah: 21) atau sesungguhnya umat ini adalah umat yang satu dan Aku adalah Tuhanmu Pemeliharamu maka beribadahlah kepadaku. (QS. Al-Anbiya’: 92).
Perintah beribadah juga dikaitkan dengan perintah berserah diri kepada-Nya, setelah upaya yang maksimal (Tawakal), seperti Firman-Nya:  Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, Maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya. dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.(QS. Hud : 123).
Di sisi lain di dalam Al-Qur’an ditemukan banyak ayat yang menegaskan bahwa keagungan dan kekuatan hanya milik Allah (antara lain QS.Al-Baqarah: 65 ) dan bahwa tuhan-tuhan yang disembah manusia dan diduga dapat membantu, tidak lain adalah hamba-hamba Allah swt, juga sebagaimana halnya para penyembah mereka. (QS. Al-A’raf: 194).
Kalau seorang menyadari betapa mutlaknya kepemilikan Allah dan betapa kuat dan berkuasanya Sang Pencipta itu, maka pengejawantahan kesadaran itu adalah ketundukan dan penyerahan diri Kepada-Nya. Ini sejalan dengan hukum yang berlaku di mana-mana serta diakui, suka atau tidak suka, oleh seluruh mahluk : pengakuan faktual yang dicerminkan oleh ketundukan yang lemah kepada yang kuat, yang butuh kepada yang mampu, dan yang hina kepada yang mulia. Demikian seterusnya sebagaimana tampak jelas dalam kehidupan nyata, karena ia adalah suatu hukum atau ketetapan fitri yang tidak dapat dielakan oleh siapa pun.
Allah swt adalah wujud yang Maha Agung, Maha Kuat, dan amat dibutuhkan oleh semua mahluk. Oleh karena itu, puncak dari ketundukan harus diarahkan hanya kepada-Nya semata.
Benar bahwa Allah membenarkan seorang tunduk dan takut kepada manusia, namun ketundukan itu tidak boleh bertentangan dengan ketetapan-Nya. Atas dasar inilah “ tidak dibenarkan taat kepada mahluk bila ketaatan itu mengantarkan kepada kedurhakaan terhadap khlalik”. Disamping itu, ketundukan kepada selain Allah tidak boleh mencapai puncak ketundukan atau dengan kata lain tidak dibenarkan beribadah kecuali kepada Allah.  

sumber: Quraish Shihab

1 komentar:

Pengikut