A. Pengertian Belajar
Di
kalangan psikolog terdapat keberagaman cara dalam menjelaskan dan
mendefinisikan tentang makna belajar (learning).
Namun, baik secara eksplisit maupun implisit pada akhirnya memiliki kesamaan
makna. Salah satu definisi yang nyaris disepakati bersama adalah bahwa belajar
merupakan sebuah proses erubahan perilaku atau pribadi berdasarkan praktik atau
pengalaman tertentu.[1]
Adapun
beberapa ciri perubahan yang merubah yang merubah perilaku belajar antara lain
:
1. Perubahan intensional dalam arti
perubahan yang terjadi karena intensitas pengalaman, praktik atau latihan yang
dilakukan secara sengaja.
2. Perubahan menuju ke arah positif, dalam
arti sesuai dengan yang diharapkan atau kriteria keberhasilan baik diandang
dari segi siswa, guru maupun lingkungan sosial.
3. Perubahan yang efektif dalam arti
membawa pengaruh dan makna tertentu bagi siswa.[2]
Arthur
J. Gates et al mengatakan bahwa “learninng is a modification of behavior
through experience and training” (Gates et
al, 1954, hal 288). Jadi dengan belajar harus ada atau terjadi perubahan
tingkah laku melalui pengalaman dan latihan.
Belajar
juga perlu distimulasi ke arah hasil-hasil yang diinginkan. Dan seterusnya
bahwa belajar adalah usaha untuk menguasai dan memperoleh kebiasaan-kebiasaan,
pengetahuan dan sikap-sikap. Belajar
juga merupakan kegiatan untuk mendapatkan hal-hal baru disaming memperkuat
hal-hal yang telah dikuasai (dimiliki) dan yang baru sekalipun. Terkandung di
dalam hal-hal yang baru adalah usaha untuk memecahkan masalah (problem solving), sedangkan yang
terdapat di dalam memerkuat hal-hal yang telah dikuasai adalah mengulang atau
menghafalkannya.[3]
Selain
itu ada beberapa prinsip belajar. Prinsip-prinsip tersebut antara lain sebagai
berikut :
1. Belajar sebagai usaha memperoleh
perubahan tingkah laku
2. Hasil belajar ditandai dengan perubahan
seluruh aspek tingkah laku.
3. Belajar merupakan suatu proses
4. Proses belajar terjadi karena ada
dorongan dan tujuan yang akan dicapai
5. Belajar merupakan bentuk pengalaman
B. Teori Belajar
Belajar
adalah aktivitas yang disadari dan dengan kemauan yang cukup kuat serta
mengharapkan hasil belajar yang baik (optimum), maka memerlukan situasi dan
kondisi yang cukup baik juga. Diantara situasi dan kondisi yang baik (kondusif)
adalah :
1. Faktor internal, yakni individu yang mau
belajar harus dalam keadaan sehat jasmani dan rohaninya, ada kesadaran,
kemauan, perhatian, minat, dan tujuan belajar yang sungguh-sungguh untuk
belajar.
2. Faktor eksternal, yang terdiri dari:
a. Situasi dan kondisi tempat belajar harus
nyaman
b. Alat-alat belajar tersedia cukup
c. Jika dierlukan ada orang pendamping yang
dapat membantu memecahkan masalah yang dihadapi
d. Tersedia waktu yang cukup untuk belajar
dan dapat diatur dengan jadwal
e. Jika diperlukan dapat memakai lagu-lagu
yang merdu untuk penyegar suasana belajar
f. Belajar disekolah atau kampus memang
sudah didesain baik sesuai dengan aturan sekolah dan kampus.[4]
Pembahasan
mengenai teori belajar akan dibagi mejadi dua , yaitu teori belajar berdasarkan
sistem dan menurut aliran-aliran besar psikologi.
1. Teori Belajar berdasarkan Sistem,
terdiri dari:
a. Sistem Classical Conditioning
Teori
pembiasaan klasikal atau Classical
Conditioning ini dikemukakan oleh Ivan Petrovich Pavlov lewat keberhasilan
percobaannya kepada anjing.
Teori
ini menganggap bahwa belajar itu hanyalah terjadi secara otomatis (alami).
Inilah sumbangan terbesar teori ini yang sekaligus menjadi titik pangkal
kelemahannya, sebab pada saat yang bersamaan teori ini tidak menghiraukan
peranan keaktifan dan penentuan pribadi dalam menentukan latihan/kebiasaan.[5]
b. Sistem Instrumental Conditioning
Teori
Instrumental Conditioning (Conditioning oerant) ini menyatakan
bahwa tingkah laku yang dipelajari berfungsi sebagai instrumen (penolong) untuk
mencapai hasil atau ganjaran yang dikehendaki. Pencipta teori ini adalah
Burrhus Frederic Skinner (1904) ia adalah seorang penganut behaviorisme.[6]
c. Sistem Cognitif Learning
Teori
ini dikemukakan ertama kali oleh seorang psikolog asal Jerman yang bernama
Wolfang Kohler melalui percobaannya ad beberapa ekor simpanse.
Teori
ini menyatakan bahwa manusia sebagai pribadi manusia tidak secara langsung
bereaksi kepada suatu perangsang dan kalaupun bereaksi sekaligus, reaksinya itu
tidak terjadi secara membabi buta.ia selalu ada tahayang sering disebut trial and error.[7]
d. Sistem Belajar Sosial
Teori
ini masyhur dengan sebutan teori Observation
learning (belajar observasi dan pengamatan). Tokohnya ialah Albert Bandura,
seorang psikolog di Universitas Stanford Amerika Serikat. Bandura memandang
tingkah laku manusia bukan semata-mata
refleks atas stimulus, melainkan juga akibat dari interaksi antar lingkungan
dengan skema kognitif manusia itu sendiri.[8]
2. Teori Belajar berdasarkan Aliran
a. Teori belajar menurut aliran Faculty Theory
Teori
ini dipelopori antara lain oleh Salz dan Walff yang menyatakan bahwa manusia
itu terdiri dari berbagai daya yang masing-masing mempunyai fungsi tertentu
seerti daya ingatan, daya khayal, daya pikir dan sebagainya. Daya-daya itu daat
dilatih sehingga bertambah fungsinya.
b. Teori Belajar menurut Aliran Ilmu Jiwa
Asosiasi
Menurut
teori ini belajar meruakan ercampuran dari berbagai unsur. Atau dengan kata
lain belajar sebagai roses bagaimana menghubungkan dan menggabungkan beragam
resons dari sebuah stimulus.[9]
a.
Belajar dalam
Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an surat Al-‘Alaq ayat
1-5 yang merupakan wahyu pertama yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW
yakni perintah untuk membaca. Sebagai mana yang berbunyi :
ù&tø%$#
ÉOó$$Î/
y7În/u
Ï%©!$#
t,n=y{
ÇÊÈ t,n=y{
z`»|¡SM}$#
ô`ÏB
@,n=tã
ÇËÈ ù&tø%$#
y7/uur
ãPtø.F{$#
ÇÌÈ Ï%©!$#
zO¯=tæ
ÉOn=s)ø9$$Î/
ÇÍÈ zO¯=tæ
z`»|¡SM}$#
$tB
óOs9
÷Ls>÷èt
ÇÎÈ
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2. Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang
Maha pemurah,
4. Yang mengajar (manusia) dengan
perantaran kalam[1589],
5. Dia mengajar kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya.
[1589] Maksudnya: Allah mengajar
manusia dengan perantaraan tulis baca.
Mengapa
iqra’ merupakan perintah pertama yang ditujukan kepada nabi, padahal beliau
seorang yang Ummi (yang tidak pandai membaca dan menulis )? Mengapa
demikian?
Iqra’
terambil dari akar kata yang berarti “ menghimpun” sehinga tidak selalu
harus diartikan “membaca teks tertulis dengan aksara tertentu”[1].
Dari menghimpun lahir aneka ragam makna, seperti menyampaikan, menelaah,
mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca, baik tertulis mapun
tidak.
Iqra’ (Bacalah)!
Tetapi apa yang harus dibaca ? “Ma Aqra’”? tanya nabi - dalam suatu
riwayat- setelah beliau kepayahan dirangkul dan diperintah membaca oleh
malaikat Jibril a.s.
Pertanyaan itu tidak dijawab,
karena Allah menghendaki agar beliau dan umatnya membaca apa saja selama bacaan
tersebut bismi Rabbika, dalam
arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Oleh karena itu belajar dalam hal ini
menurut surat Al-Alaq tersebut berarti belajar di artikan tidak hanya dengan
membaca atau belajara secar formal di lembaga-lembaga pendidikan, melainkan
belajar dari segala sesuatu hal yang kiranya hal tersebut bermanfaat dan
mengandung kemaslahatan bersama bagi manusia itu sendiri.
b.
Metode belajar
dalam Al-Qur’an
Manusia
belajar dengan berbagai metode. Terkadang ia belajar dengan meniru. Anak anak
biasanya meniru kedua orang tuanya dan dari keduanya ia banyak belajar entang
berbagai kebiasaan dan pola tingkahlaku.
1.
Peniruan
Al-Qur’an
sendiri telah mengemukakan contoh bagaimana manusia belajar lewat metode
meniru. Ini dikemukakan dalam kisah pembunuhan yang dilakukan Qabil terhadap
saudaranya, Habil, dan ia tidak tahu bagaimana memperlakukan mayat saudaranya
itu. Maka Allah pun mengutus seekor burung gagak untuk menggali-gali tanah guna
menguburkan bangkai seekor gagak lain. Dari gagak itulah Qabil belajar
menguburkan mayat saudaranya.[2]
y]yèt7sù
ª!$#
$\/#{äî
ß]ysö7t
Îû
ÇÚöF{$#
¼çmtÎãÏ9
y#øx.
ͺuqã
nouäöqy
ÏmÅzr&
4 tA$s%
#ÓtLn=÷uq»t
ßN÷yftãr&
÷br&
tbqä.r&
@÷WÏB
#x»yd
É>#{äóø9$#
yͺuré'sù
nouäöqy
ÓÅr&
( yxt7ô¹r'sù
z`ÏB
tûüÏBÏ»¨Y9$#
ÇÌÊÈ
Artinya :”Kemudian
Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan
kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya[410].
berkata Qabil: "Aduhai celaka Aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti
burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" karena
itu jadilah Dia seorang diantara orang-orang yang menyesal.
2.
Pengalaman
Praktis, Trial dan Error
Dalam menghadapi
berbagai problem kehidupan dan upayanya untuk mengatasi,manusia juga belajar
lewat pengalaman praktis. Dalam kehidupannya, manusia selalu menghadapi
situasi-situasi baru yang belum diketetahui begaimana menghadapinya dan
bagaimana harus bertindak. Dalam situasi demikian, manusia memberikan rrespon
yang beraneka ragam. Terkadang mereka keliru dalam menghadapinya, tetapi
terkadang juga tepat. Dengan demikian belajar, lewat apa yang oleh para ahli
ilmu jiwa modern disebut”Trial and Error”. Memberikan respon terhadap
situasi-situasi baru mencari jalan keluar dari pobrelem-problem yang
dihadapinya.
AlQur’an dalam
sebagian ayatnya, memberikan dorongan kepada manusia untuk mengadakan
perjalanan di muka bumi ini, mengadakan pengamatan dan memikirkan tanda-tanda kekuasaan Allah
dan alam semesta. Karena dengan itu semua, baik melalui pengamatan terhadap
hal, pengalaman praktis dalam kehidupan sehari-hari, ataupun lewat interaksi
dengan alam semesta dan berbagai mahluk dan peristiwa yang ada dan terjadi di
dalamnya akan membawa manusia kepada pemahaman dan pengatahuan tenang sesuatu
hal yang baru atau sesuatu yang belum pernah ia alami.
Nabi Muhammad
saw sendiri telah mengemukakan tentang pentingnya belajar dari pengalaman
praktis dalam kehidupan. Dituturkan dari Talhah ibn Abdullah, bahwa ia berkata pada
suatu ketika aku bersama sama Rasulullah saw lewat pada tempat beberpa orang yang
sedang memanjat pohon kurma. Rasulullah saw bertanya: “apa yang sedang mereka
lakukan”? jawab para sahabat. “mereka sedang mengawinkannya, dengan meletakkan
serbuk bunga yang jantan pada bunga betina. Sehingga terjadi perkawinan.” Rasul
berkata “ menurut pendapatku tampaknya hal itu tidak ada gunanya.” Kata talhah
para sahabat pun memberi tahu orang-orang itu mengenai pendapat Rasulullah
mengenai apa yang mereka lakukan. Dan Rasulullah saw pun diberitahu tentang
pemberitahuan akan pendapat beliau itu. Rasulullah berkata “bila hal itu
berguna bagi mereka biarkanlah mereka melakukannya. Itu hannya dugaan ku saja
janganlah kalian ambil. Tetapi apabila engkau memberitahu sesuatu dari Allah maka
ambillah. Sesungguhnya aku tidak pernah berbohong sama sekali tenang Allah.”
Sabda rasulullah saw “bila hal itu berguna bagi ereka, biarkanlah mereka
lakukan” dan “kalian lebih tau urusan duniawi kalian” hal ini menginsyaatkan
tenatang belajarnya manusia membuat respon-respons baru lewat pengalaman
praktis, dari berbagai situasi baru yang dihadapinya, dan berbagai jalan
pemecahan daari problem-problem yang dihadapinya.
3.
Berpikir
Dalam belajar
manusia juga memakai metode berpikir. Ketika seseorang sedang berpikir dalam
memecahkan suatu problem, dalam kenyataanya ia sedang melakukan “trial dan
error” secara intelektual. Sebab dalam pikirannya ia sedang mengusahakan berbagai
jalan keluar dari problem tersebut. Jadi, lewat berpikir manusia belajar berbagai
jalan keluar dari problem-problemnya, menyingkapkan hubungan antara hal-hal dan
peristiwa-peristiwa, menyimpulkannya berbagai prinsip dan teori baru, dan
sampai pada berbagai penemuan dan ciptaan baru. Oleh karena itu, peroses
balajar disebut oleh para ahli olamu jiwa moderen dengan proses belajar tingkat
tinggi.
Al-Qur’an
sendiri menggunakan bentuk diskusi dan polemik dengan orang-orang musyrik dan
mengemukakan kepada mereka berbagai bukti logika yang membuktikan kekeliruannya
dalam menyembah berhala. Ini dimaksudkan untuk membangkitkan pemikiran mereka
tentang tuhan-tuhan mereka dan dengan tujuan untuk meyakini mereka akan
kerendahan, kehinaan, dan ketidakmampuan tuhan-tuhan mereka itu. Sehingga akan
tampak jelas bagi mereka keridaklayakan berhala-berhala itu sebagai tuhan.
Sebagai contoh adalah ayat berikut :
Artinya: 191. Apakah mereka mempersekutukan
(Allah dengan) berhada-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatupun? sedangkan
berhala-berhala itu sendiri buatan orang.
192. Dan
berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya
dan kepada dirinya sendiripun berhala-berha]a itu tidak dapat memberi
pertolongan.
193. Dan jika
kamu (hai orang-orang musyrik) menyerunya (berhala) untuk memberi petunjuk
kepadamu, tidaklah berhala-berhala itu dapat memperkenankan seruanmu; sama saja
(hasilnya) buat kamu menyeru mereka ataupun kamu herdiam diri.
194.
Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu seru selain Allah itu adalah makhluk
(yang lemah) yang serupa juga dengan kamu. Maka serulah berhala-berhala itu
lalu biarkanlah mereka mmperkenankan permintaanmu, jika kamu memang orang-orang
yang benar.
195. Apakah
berhala-berhala mempunyai kaki yang dengan itu ia dapat berjalan, atau
mempunyai tangan yang dengan itu ia dapat memegang dengan keras[589], atau
mempunyai mata yang dengan itu ia dapat melihat, atau mempunyai telinga yang
dengan itu ia dapat mendengar? Katakanlah: "Panggillah berhala-berhalamu
yang kamu jadikan sekutu Allah, kemudian lakukanlah tipu daya (untuk
mencelakakan)-ku. tanpa memberi tangguh (kepada-ku)".
[589] Kata
yabthisyuun di sini diartikan bertindak dengan keras; Maksudnya: menampar,
merusak, memukul, merenggut dengan kasar dan sebagainya.
[1] M. Qurais Shihab, Wawasan Al-Qur’an.
(Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007), hlm. 5
[2] Ustman Najati, Al-Qur’an dan ilmu jiwa.
(Bandung: Pustaka, 2004), hlm. 175
[1] Akyas Azhari, Psikilogi Umum dan
Perkembangan, (Bandung: Seri Buku Daras, 2004), hlm.122
[2] Akyas Azhari, Psikilogi Umum dan
Perkembangan, (Bandung: Seri Buku Daras, 2004), hlm.122
[3] Ki Fudyartana, Psikologi Umum, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 267-268
[4] Ki Fudyartana, Psikologi Umum, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011), hlm.268-267
[5] Akyas Azhari, Psikilogi Umum dan
Perkembangan, (Bandung: Seri Buku Daras, 2004), hlm. 127
[6] Akyas Azhari, Psikilogi Umum dan
Perkembangan, (Bandung: Seri Buku Daras, 2004), hlm. 127-128
[7] Akyas Azhari, Psikilogi Umum dan
Perkembangan, (Bandung: Seri Buku Daras, 2004), hlm. 129
[8] Akyas Azhari, Psikilogi Umum dan
Perkembangan, (Bandung: Seri Buku Daras, 2004), hlm. 129-130
[9] Akyas Azhari, Psikilogi Umum dan
Perkembangan, (Bandung: Seri Buku Daras, 2004), hlm. 132